Senin, Mei 30, 2011

Ajaran Kearifan Tiga Guru Sufi Jawa

Ajaran Kearifan Tiga Guru Sufi Jawa
Judul Buku : Tiga Guru Sufi Tanah Jawa
Penulis : H. Murtadlo Hadi
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : 1, Februari 2010
Tebal : 250 halaman
Peresensi : Ahmad Hasan MS*)
Sosok ulama atau kiai lazim dikenal karena suri teladannya, yatiu bagaimana praktek syariat itu menjadi laku (amal) sehari-hari. Di samping itu, sosok kiai pun bisa menempati ruang khusus di hati umat karena pernyataan-pernyataan, wasiat-wasiat atau wejangan- wejangan mereka kepada oreang terdekat dan para santri serta masyarakat. Wajar bila kyai oleh KH Aziz Mashuri menjadi penyangga kazanah kebudayaan islam yang adiluhung.
Buku “Tiga Guru Sufi Tanah Jawa berusaha memaparkan “wejangan ruhani” atau pesan-pesan spiritual dari tiga sosok kiai tanah jawa; Syaikh Muslih Bin Abdur Rahman al-Maraqy (Mranggen Demak), Syaikh Romli Tamim (Rejoso Jombang) dan Syaikh Dimyathi Bin Muhammad Amin al-Bantany (Cidahu Banten). Pesan-pesan spiritual dari tiga tokoh yang menjadi maha guru (mursyid) di tanah jawa ini menyimpan semacam doktrin sufistik Ala Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandsiyah dan Thariqah Syadziliyah.
Dalam buku ini penulis membagi dalam tiga bagian ihwal wejangan tiga guru sufi termasyhur di jagad jawa ini. Pada bagian pertama dijelaskan mengenai wejangan ruhani dari Abuya Dimyathi. Abuya Dimyathi merupakan ulama kharismatik dari Banten. Wejangan spiritualnya mampu menjadi peneduh terhadap dahaga umat. Wejangan-wejangan Abuya memiliki kualitas tinggi sebagai obat bagi jiwa yang sakit, oase bagi jiwa yang gersang sekaligus Nur ilahiyah yang menguasai kerajaan hati, dengan berjuta-juta malaikat berjaga disana, yang bisa mengusir gelap (zhulumat) dan setan serta bala tentara (Junud Asy-Syatain) dari hati manusia.
Dalam Wejangannya, menjadi mursyid thariqah tidak asal begitu saja, melainkan melalui syarat tertentu. Setidaknya, ada tiga syarat menjadi seorang Mursyid. Pertama, seorang mursyid ketika menjadi pembimbing spiritual dan penunjuk jalan haruslah matang dalam menguasai ilmu para ulama. Kedua, seorang mursyid juga harus memahami memahami hikmah dari orang-orang yang sudah Ma’rifat Billah. Ketiga, seorang mursyid menguasai pula taktik dan strategi yang diterapkan penguasa (raja atau pemimpin politik).
Tiga criteria ini pertama kali sebenarnya telah dicetuskan oleh pemimpin Thariqah Qadiriyah, yaitu syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hasil ijtihad Syaikh Abdul Qadir Jailani itu dicatat oleh Syaikh Abi Ja’far al- Barzanji dalam kitab Lujainid Dany. Karena nilai universalnya, menurut penulis berlaku di setiap gerakan tarekat hingga sekarang. Criteria ini mengharuskan ulama yang benar-benar alim, ahli ibadah dan hikmah serta giat membimbing dan mendekat pada umat.
Secara khusus, Abuya Dimyathi juga memiliki risalah yang diperuntukkan untuk umat dalam menekuni Thariqat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Di antaranya risalah ashl al-qadar yang berisi tentang nama-nama sahabat ahli perang badar beserta ajaran kearifannya. Juga kitab Rasn Al-Qasar yang menjelaskan tentang pentingnya Hidzib Nashr. Juga kitab hadiyyah al-jalaliyyah yang menjelaskan ihwal sanad, karakteristik Thariqah Syadziliyah, dan kepantasan untuk para salik dalam bertaqarrub kepada Allah.
Pada bagian kedua berisi tentang wejangan ruhani Syaikh Romli Tamim, Rejoso, Jombang, ulama kharismatik yang mennadi mursyid Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Salah satu buah karya Syaikh Romli adalah Tsamnrah al-Fikriyah yang berisi tentang doktrin sufistik bagi ahli thareqat dan tasawuf. Dalam wejangannya, Syaikh Romli mengatakan bahwa jalan untuk wushul (Ma’rifah Billah) bagi para santri Thariqah adalah dengan cara serius melaksanakan tiga hal berikut.
Pertama, mengembangkan Dzikir Khafi (dzikir samar) atau dzikir dalam hati. Caranya dengan menghadirkan hati secara total senantiasa ingat Allah dalam keadaan apapun. Kedua, muraqabah, yaitu senantiasa berusaha mengejar dan mendekat kepada Allah. Dalam wukuf di hadrah ilahiyah, santri thareqah mesti senantiasa berharap dengan prasangka baik (Khusnudzon) terhadap anugerah yang diberikan Allah.
Ketiga, dengan jalan khidmah (pengabdian), yaitu setia menjadi pelayan bagi guru yang telah memberikan Talqin Dzikir, kaifiyah, dan Jam’iyyah serta juga bersedia menyediakan diri untuk menjadi pelayan bagi santri-santri yang lain. Saling berlomba-lomba dalam kebaikan sekaligus berusaha bermanfaat bagi sesama. Tiga jalan ini dilakukan secara ikhlas dan istiuqomah dengan berserah total kepada Allah.
Pada bagian ketiga, penulis menjelaskan ihwal wejangan ruhani Syaikh Muslih Mranggen. Syaikh Muslih Mranggen dikenal sebagai mursyid Thareqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah yang memiliki kedalaman ilmu dan kejernihan hati. Salah satu karyanya yang cukup populer adalah Futuhat Rabbaniyah yang menguraikan doktrin sufistik menuju tersingkapnya Ma’rifat Ilahiyah. Karya lainnya yang juga tak kalah populer adalah an-Nur al-Burhani yang merupakan syarah(penjelasan kitab Lujain ad Dani) karya Syaikh Abi Ja’far al-Brzanji yang meriwayatkan biografi Sulthan Al-Auliya Syaikh Abdul Qadir Jailany.
Dalam Futuhat ar-Rabbaniyah, Syaikh Muslih secara detail menjelaskan tentang tata cara santri dalam menjalankan thareqah, terutama doktrin yang ia sebut sebagai “ Mabadi Ilmi Ath Thariqah yang membahas landasan thariqah qadiriyah wa naqsyabandiyah. Salah satu untaian hikmahnya adalah berfiqh harus dibarengi dengan tasawuf. “ barang siapa yang semata berpegang pada formalitas fiqh, tanpa praktek tasawuf, maka seorang itu bisa terjatuh pada perilaku fasiq. Dan barang siapa mencoba-coba bertasawuf tanpa tuntunan syara’ maka ia bisa jatuh dalam kafir zindiq. Dan barang siapa bertasawuf dan menjalankan tuntunan syara’(fiqh) maka ia akan sampai pada hakekat dan kesejatian”.(hal 203).
Buku ini menarik dibaca bagi siapa saja ingin mengenal lebih dekat ihwal warisan tiga ulama besar sufi jawa beserta ajaran dan selub beluk kehidupannya. Namun pembaca jangan lantas kecewa sebab buku ini bukanlah biografi khusus melainkan sekedar serpihan pemikiran dan untaian hiikmah yang menyejukkan. Sebuah buku yang memuat ajaran kearifan tiga guru sufi jawa yang terus dikenang sepanjang masa.
*) Peresensi adalah Alumnus Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini Editor di sebuah Penerbit Jogja

GERAKAN ILMU SEBAGAI TUMPUAN “PENCERAHAN BANGSA”

GERAKAN ILMU SEBAGAI TUMPUAN “PENCERAHAN BANGSA”
Judul Buku          : Membumikan Gerakan Ilmu Dalam Muhammadiyah
Editor                    : Jabrohim Dkk
Pengantar           : A Syafi’i Ma’arif
Penerbit              : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Cetakan               :  1, 2010
Tebal                     : 231 halaman
Peresensi            :  Ahmad Hasan MS*)
                Alfin Toefler dalam bukunya Power Shift  menyatakan bahwa kekuatan yang paling dahsyat, canggih dan kuat  bukan semata dari fisik ataupun mesin yang modern, akan tetapi kekuatan yang tiada tandingannya adalah kekuatan yang bertumpu pada ilmu pengetahuan dan system yang maju. Analisis Toefler itu menunjukkan betapa ilmu pengetahuan merupakan kunci utama untuk menapaki abad 21. Benar pula apa yang dikatakan mantan Presiden RI, B.J Habibie bahwa  ilmu adalah modal utama untuk merebut masa depan yang cerah bagi bangsa Indonesia tercinta ini.
                Gerakan ilmu adalah gerakan pencerdasan dan pencerahan bagi peradaban.  Gerakan itu pula yang digagas dan diperjuangkan Muhammadiyah yang baru saja menjalankan Muktamar satu abad di Yogyakarta beberapa waktu lalu.  Jauh-jauh hari, KH Ahmad Dahlan, sang Founding Fhaters Muhammadiyah sudah merintis dengan mendidik warganya di perkampungan Kauman Yogyakarta. Perlahan tapi pasti, sepeninggal KH Ahmad Dahlan, lembaga pendidikan berpayung Muhammadiyah berkembang dengan pesat. Ribuan sekolah se Indonesia mulai dari SD, SMP, SMA berdiri dengan pesatnya. Demikian pula, ratusan perguruan tinggi berdiri dengan megah lengkap dengan fasilitasnya yang modern dan berkwalitas.
                Buku ” membumikan gerakan ilmu dalam Muhammadiyah” berusaha memotret perjuangan Muhammadiyah dalam memajukan negeri ini.  Buku bernada reflektif hasil kumpulan tulisan ini menegaskan bahwa gerakan ilmu merupakan kunci utama dalam era globalisasi ini. Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam kata pengantarnya menegaskan bahwa gerakan ilmu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk merebut masa depan bangsa yang gemilang. Gerakan ilmu, lanjutnya- adalah gerakan masyarakat yang gemar terhadap kegiatan  membaca, menulis, berfikir dan  bertindak secara efektif dan efisien.
                Namun, menurut Ahmad Syafi’I Maarif, kesadaran bangsa Indonesia terhadap pentingnya gerakan ilmu masih lemah. Tingkat konsumsi membaca buku masih rendah. Terlebih terhadap kemampuan menulis dengan baik, juga malah lebih rendah lagi. Masalah lebih kompleks lagi tatkala melihat tingkat buta aksara masih tinggi ditambah dengan tingkat anak yang putus sekolah banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat.
                Selanjutnya, dalam bagian pertama, M. Husnaini menganalisis mengutip dari pendapat Paul Kennedy dalam karyanya Preparing For The Twentieth Century (1993) terkait pentingnya ilmu. Husnaini menulis, mengapa Negara-negara Afrika Barat seperti Nigeria, Sierra Leone dan Chad tetap saja miskin dan dirundung malang, sementara Negara-negara Asia Timur seperti  Korea Selatan melesat begitu cepat?.  Perbedaan amat mencolok itu ternyata terletak pada kualitas sumber daya manusia di antara keduanya. Sementara jika ditelusuri, factor penentu kualitas sumber daya manusia itu hanyalah satu, yaitu ilmu pengetahuan.
                Itulah sebabnya, menurut Husnaini, bangsa  Indonesia harus mau bersusah payah dalam mencari dan menggali ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya.  Muhammadiyah sebagai organisasi yang bervisi islam Rahmatan Lil Alamin harus terus menerus berjuang melawan kebodohan dengan concern gerakan ilmu. Benar apa yang dikatakan A. Syafi’I Maarif, “ Tidak ada jalan lain untuk bersikap setia kepada gagasan islam yang berkemajuan, kecuali mau belajar dan membuka diri selebar-lebarnya, selebar kehidupan itu sendiri. (Suara Muhammadiyah, No. 10, 16-31 Mei 2010).
                Hal yang sama juga diungkapkan Bambang Harnowo, menurutnya Muhammadiyah mutlak melakukan ijtihad pembaharuan(tajdid) melalui gerakan ilmu pengetahuan berkeadaban. Kantong-kantong masyarakat sipil (civil society) harus diberdayakan demi kemajuan bangsa dan keumatan.  Melintasi gerak zaman, Muhammadiyah mengalami tantangan yang berat. Budaya kapitalisme, pragmatisme dan hedonisme telah menyeruak dan menyebar ke segala sendi kehidupan. Itulah sebabnya, masyarakat Muhammadiyah dan bangsa Indonesia pada umumnya harus mewaspadai hal itu. Jangan sampai budaya tersebut menggerogoti tubuh bangsa sehingga tergelincir di titik nadir.
                Pertanyaannya kemudian, apa gambara riil untuk melakukan pembumian gerakan ilmu sekaligus untuk menepis serangan budaya hedonis dan pragmatis itu?. Prof. Dr. M. Amien Rais dalam buku ini memberikan jawaban. Menurutnya, ada tujuh strategi  untuk memperkuat gerakan ilmu, khsusunya di lembaga pendidikan termasuk Muhammadiyah.  Pertama, peningkatan kualitas teaching staff. Artinya, merekrut pengajar yang handal dan mumpuni.  Para pengajar di lembaga pendidikan harus memiliki kompetensi dan kualifikasi akademik yang layak dan diakui.
Kedua, membangun atmosfer yang kondusif di lembaga pendidikan. Artinya, menciptakan kompetisi yang sehat dan nyaman antar lembaga pendidikan. Ketiga, mendukung terciptanya general library (perpustakaan umum)dan research library (perpustakaan penelitian) yang kuat dan lengkap.  Keempat, kegiatan- kegiatan laboratorium untuk setiap disiplin ilmu perlu memperoleh perhatian yang sama pentingnya dengan perpustakaan. Kelima, kegiatan Research and Development (penelitian dan pengembangan) harus diperhatikan secara sungguh-sungguh.  Perguruan tinggi harus diarahkan agar mampu menghasilkan riset penelitian yang bisa dirasakan manfaatnya bagi kemaslahatan masyarakat.
Keenam, memacu dosen, mahasiswa dan masyarakat secara umum agar melakukan kegiatan ilmiah seperti orasi ilmiah, seminar, symposium, bedah buku, diskusi terbuka, workshop, pelatihan dan lain sebagainya. Ketujuh, berpegang teguh pada nilai-nilai ketuhanan dan mengembangkan misi pembebasan manusia dari kebobohan dan ketertindasan. Dengan begitu, menurut Amien Rais yang diamini Jabrohim, pembumian gerakan ilmu akan berjalan efektif sehingga misi islam rahmatan lil alamin mampu dirasakan manfaatnya bagi warga Muhammadiyah dan bangsa dan Negara Indonesia pada umumnya.  Tentu dengan dukungan pemerintah, dan masyarakat pada umumnya.
Buku ini menarik dibaca bagi siapa saja, termasuk khalayak awam yang ingin mengenal lebih dekat tentang seluk beluk Muhammadiyah yang terbukti concern mengurusi lembaga pendidikan selama satu abad. Sebuah buku yang menegaskan bahwa gerakan ilmu penting dikebumikan demi kemajuan dan peningkatan kesejahteraan bangsa pada umumnya.
*) Peresensi adalah Pustakawan Taman Baca Baitun Naim . Tinggal di Yogyakarta.