Kamis, Juni 02, 2011

Terorisme dan Ideologi Fundamentalisme Agama

Terorisme dan Ideologi Fundamentalisme Agama*)
Oleh : Ahmad Hasan MS**)
            Jajaran kepolisian republic Indonesia kembali meringkus jaringan teroris di Nangroe Aceh Darussalam(NAD). Detasemen Khusus (Densus) 88 menembak mati dua tersangka teroris bernama Anceng Kurnia dan Ura Sudarma dan menangkap 8 teroris lainnya. Pelaku ditangkap di Desa Leupung Kabupaten Aceh Besar.(12/2). Penangkapan ini merupakan rangkaian kerja tim Densus 88 setelah sebelumnya menangkap gembong teroris Dulmatin di Pamulang Tangerang Selasa, 9 Maret yang lalu.
            Memori kolektif masyarakat kembali bertanya-tanya, mengapa jaringan teroris tak pernah habis?. Apa yang menyebabkan mereka tak gentar dalam melakukan aksi terorisme.?. Bukankah terorisme bertentangan dengan ajaran agama manapun?. Pertanyaan bernada gugatan dan eflektif ini senantiasa mengendap dalam benak pikir kita.
            Seperti diketahui, jaringan terorisme di Indonesia berjalan secara sistematis dan massif. Jaringan ini diduga kuat memiliki kedekatan dengan Jama’ah Islamiyah(JI) dan Al-Qaeda. Serentetan tragedy pengeboman disertai bunuh diri yang berlangsung di Indonesia mulai dari Bom Bali(12 Oktober 2002), hotel JW Marriot, Jakarta (5/8/03), bom di Kedubes Australia dan seterusnya membuktikan mereka cukup rapi, cerdas, canggih dan lihai dalam melancarkan aksinya. Aksi mereka tidak akan sukses tanpa peran dari Jama’ah Islamiyah. Lewat JI, pelbagai rencana terorisme diatur secara sistematis. Mulai dari strategi perekrutan anggota, pelatihan dan pengkaderan, penggalangan dana hingga aksi lapangan semua direncanakan secara rinci dan terstruktur.
            Pola kepemimpinan di organisasi JI tidak mengandalkan satu orang, akan tetapi dengan dibentuk tim sehingga semua saling berperan antara satu dengan lainnya. Namun, mereka berjalan secara kolektif. Modal kekompakan itulah yang membuat gerakan mereka sulit ditumpas. Pihak Kepolisian seringkali dibuat repot dan kalang kabut. Mereka ibarat ikan belut yang sulit ditangkap dan dijebak.
Meski telah ditangkap dan dibunuh pelbagai gembong teroris seperti Dr Azahari, Nurdin M Top, Am Rozi, Imam Samudra, Dulmatin dan tokoh teroris lainnya kenyataanya masih saja ancaman selalu muncul. Mereka pandai melakukan pengkaderan. Ibarat peribahasa hilang satu tumbuh seribu. Ini dbuktikan dengan massifnya kelompok JI dalam melatih dan merekrut orang-orang muda di daerah Nangroe Aceh Darussalam. Bahkan, Aceh diproyeksikan sebagai tempat persembunyian, pelatihan dan pertemuan untuk tingkat Asia Tenggara.
Aceh dipandang sebagai daerah yang aman dan efektif. Terlebih, Aceh merupakan daerah bekas konflik yang mayoritas beragama islam. Aceh cukup kondusif,khususnya pasca MoU Helsinki. Namun, tentu kita patut bersyukur. Jajaran kepolisian berhasil mengendus gerombolan JI ini. Sehingga sedikit banyak bisa melumpuhkan dan memutus mara rantai gerakan terorisme. Apa yang dilakukan aparat Kepolisian beberapa hari yang lalu di Aceh dengan menembak mati dua teroris Anceng Kurnia dan Ura Sudarma dan penangkapan 10 pelaku terorisme kiranya sedikit melegakan dada. Akan tetapi, tentu kita masih bertanya-tanya, apakah dengan ditangkapnya para pelaku ini lantas gerakan terorisme akan lenyap sekaligus menjamin keberlangsungan keamanan RI di masa-masa mendatang?.
Pertanyaan tersebut tentu tidak bisa dijawab dengan mudah. Dibutuhkan sebuah kajian dan penelitian mendalam. Ahmad Syafi’I Ma’arif (2008) menyatakan gerakan terorisme tidak bisa ditumpas begitu saja tanpa dicari akar masalahnya. Bagi Syafi’I Ma’arif, gerakan terorisme yang didengungkan oleh kelompok JI tidak lepas dari ideology fundamentalisme yang cenderung radikal dan bercita-cita mendirikan Negara islam. Mereka tidak puas dengan system demokrasi saat ini yang dinilai sekuler dan liberal. Mereka membenci “antek-antek AS, yakni Indonesia yang dinilai masuk lembah kapitalis dan liberal.
Ideologi Fundamentalisme
Martin E. Marty dan R. Scott Aplleby (1991) dalam Fundamentalism Observed yang dikutip Karen Amstrong menyatakan bahwa fundamentalisme merupakan ideology yang teguh dalam prinsip termasuk ajaran agama, mengaku paling benar dan tidak bisa dikritik (uncriticable). Ideology ini, lanjut Martin-miliki pola-pola tertentu, sebagai mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam. (Karen Amstrong, Berperang demi Tuhan; Fundamentalisme dalam Islam Kristen dan Yahudi, Serambi, 2001).
     Rumadi dalam bukunya, Renungan Santri, Dari Jihad Hingga Kritik Wacana Agama (Erlangga;2007) menyebutkan bahwa kemunculan fundamentalisme diakibatkan pelbagai factor yang saling berhubungan erat satu sama lainnya. Pertama, kekecewaan terhadap system demokrasi yang dinilai sekuler. Ajaran demokrasi yang menempatkan suara rakyat suara tuhan (Vox Vopuli Vox Dei) dianggap telah mensubordinasi tuhan  Meskipun kelompok fundamentalis radikal termasuk JI dkk kecewa terhadap system demokrasi, namun mereka memanfaatkan momentum demokrasi itu sebagai sarana memperjuangkan aspirasi politiknya.
Kedua, kekecewaan terhadap kebobrokan system social yang disebabkan oleh ketidakberdayaan Negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara religius. Demokrasi yang dianut Indonesia dinilai cenderung sekuler dan mengabaikan prinsip-prinsip agama. Demokrasi hanya membiarkan berkembangnya kemaksiatan dan kemadlaratan.
Ketiga, ketidakadilan politik. Fundamentalisme radikal muncul sebagai ekspresi perlawanan terhadap system politik yang menindas dan tidak adil. Bagi kelompok JI termasuk para teoris, system demokrasi menyebabkan rakyat Indonesia jatuh dalam jurang kemiskinan, dan ketidakadilan social. Demokrasi hanya menindas orang-orang kecil yang miskin papa, tak berdaya dan termarginalkan. Kesejahteraan hanya dimiliki elite politik dan penguasa yang berkongkalikong dengan pengusaha. Rakyat hanya diperas dan ditindas.
Fundamentalisme merupakan sebuah tantangan bagi bangsa Indonesia . Gerakan terorisme berbasis fundamentalisme ini tidak bisa dilenyapkan begitu saja. Dinas polisian atau Tim Densus 88 bisa saja melakukan penangkapan dan penyisiran pelaku terror, akan tetapi akar masalahnya tersebut diatas tetap menjadi Pekerjaan Rumah(PR) yang wajib diselesaikan bersama. Itulah sebabnya, fundamentalisme harus diputus. Pendekatan inklusifis, kemanusiaan dan paham multikulturalisme layak disemaikan. Pemerintah juga berevaluasi diri untuk berpihak pada civil society yang berkeadilan dan berkeadaban.
*) Artikel Ini pernah dimuat di HU Sinar  Harapan Jakarta
**) Penulis adalah Editor di Sebuah Penerbit Jogja